SEJARAH PENGADILAN AGAMA ATAMBUA
Pada awalnya semua pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah yang berada di wilayah Nusa Tenggara Timur di bawah wilayah yuridiksi hukum Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah Provinsi Surabaya dengan wilayah hukum meliputi Indonesia Timur. Kemudian dengan telah direalisasikan Keputusan Menteri Agama Agama Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1958 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah Provinsi Ujung Pandang yang ditandai dengan pelantikan KH. Ahmad Bone sebagai Ketua Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah Provinsi Ujung Pandang yang pertama, maka seluruh Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah wilayah Indonesia Timur di bawah wilayah yuridiksi hukum Pengadilan Tinggi Agama/Mahkamah Syari’ah Provinsi Ujung Pandang.
Dengan telah adanya undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman pasal 10 ayat (1) menyatakan : Peradilan Umum, Peradilan Agama Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara serta atas dasar Undang-undang tersebut kemudian Mahkamah Syari’ah/Mahkamah Syari’ah Provinsi dihilangkan, sehingga hanya memiliki nama Pengadilan Agama/Pengadilan Tinggi Agama saja.
Semakin meningkatnya volume pekerjaan pada Pengadilan Agama di wilayah Nusa Tenggara Timur pada saat itu dan seiring dengan banyaknya perkara yang diterima dan diajukan oleh masyarakat Nusa Tenggara Timur khususnya pada lembaga Peradilan Agama dan sejalan dengan perkembangan Peradilan Agama dari waktu ke waktu yang semakin pesat serta semakin banyak perkara yang harus diselesaikan dan dalam rangka pembinaan serta pengawasan, maka timbul gagasan untuk memekarkan Pengadilan Tinggi Agama Ujung Pandang. Gagasan pemekaran tersebut terealisir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iah di luar Jawa dan Madura dan Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 95 Tahun 1982 yang menetapkan pembentukan Pengadilan Tinggi Agama Mataram yang membawahi seluruh Pengadilan Agama pada empat provinsi yaitu : Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan Timur-Timur, maka mulai Tahun 1982 Pengadilan Agama se- Nusa Tenggara Timur secara yuridis di bawah wilayah hukum Pengadilan Tinggi Agama Mataram.
Kondisi seperti ini berjalan kurang lebih tiga belas tahun dimana Peradilan Agama semakin berkembang, pembinaan dan pengawasan semakin diperlukan khususnya dibidang yustisial serta mengingat beratnya beban pekerjaan yang harus dikerjakan dan luasnya lingkup tugas yang dilayani oleh Pengadilan Tinggi Agama Mataram yang mewilayahi empat provinsi, maka dalam rangka efisien dan tertib administrasi serta hal-hal lainnya maka dipandang perlu diadakan gagasan untuk pemekaran wilayah pengadilan Tinggi Agama Mataram.
Atas usul Rancangan Undang-Undang dari Departemen Agama yang pada saat itu masih membawahi Pengadilan Agama/Pengadilan Tinggi Agama di seluruh Indonesia ke Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, maka komisi IX DPR RI menurunkan team Fact Finding ke Provinsi Nusa Tenggara Timur yang menjajaki kemungkinan dibentuknya Pengadilan Tinggi Agama Kupang. Komisi IX DPR RI pada saat itu mengadakan pertemuan dengan Pejabat Daerah Nusa Tenggara Timur, Unsur Muspida, DPRD Provinsi Nusa Tenggar Timur dan Ketua Pengadilan Tinggi Agama Mataram yang diwaakili oleh Drs. H. A. Karim A. Razak, SH.,MH. Dari hasil liputan team Fact Finding Komisi IX DPR RI dijadikan bahan pertimbangan bagi Dewan dalam mengambil keputusan guna menyetujui Rancangan Undang-undang tentang Pembentukan Pengadilan Tinggi Agama kupang. Dalam waktu yang tidak terlalu lama pembahasan Rancangan Undang-undang tersebut dapat disetujui dan berjalan sesuai dengan mekanisme, dimana DPR RI bersama pemerintah dalam hal ini Departemen Agama bergandeng tangan untuk merealisasikan pembentukan Pengadilan Tinggi Tinggi agama kupang tersebut.
Selanjutnya lahirlah Undang-undang Nomor 3 Tahun 1995, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 20 dan penjelasannya dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3592 yang disahkan oleh presiden Republik Indonesia pada tanggal 27 April 1995 dimana dalam Undang-undang tersebut empat Pengadilan Tinggi Agama dibentuk secara bersamaan masing-masing Pengadilan Tinggi Agama Bengkulu, Palu, Kendari dan Kupang.
Pada tanggal 24 Nopember diresmikan Pengadilan Tinggi Agama Kupang yang ditandai dengan pelantikan Drs. H. Ahmad Kamil, SH, M.Hum sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Agama Kupang yang pertama dan membawahi semua pengadilan Agama secara yuridis meliputi wilayah provinsi Nusa Tenggara Timur dan Timor-Timur.
Dengan diresmikannya Pengadilan Tinggi Agama Kupang, maka secara resmi pula Pengadilan Agama yang berada di provinsi NTT dan Timor-Timur termasuk Pengadilan Agama Atambua masuk dalam yuridiksi Pengadilan Tinggi Agama Kupang.
Sejak tanggal 03 November tahun 1982 sampai sekarang Pengadilan Agama Atambua telah dipimpin oleh 11 orang ketua, ke-sebelas ketua tersebut adalah :
- Drs. H. Nurdin Abubakar | 1982-1993
- Drs. Muchtarom | 1993-1996
- Drs. H. Abdul Ghafur | 1996-2001
- Drs. Ihsan Wahyudi | 2002-2006
- Drs. Khamimuddin, MH | 2008-2010
- Drs. Idris Abdir, SH, MH | 2010-2012
- Drs Syarifuddin | 2012-2014
- Drs. Moh. Hafidz Bula, M.H. | 2014-2016
- Drs. H. Mukminin | 2016-2018
- Muhamad Rizki, S.H. | 2018-2020
- Jamaludin Muhamad, S.H.I., M.H. | 2020-2024
- Hafidz Umami, S.H.I. | 2024 s/d Sekarang
B. DASAR HUKUM PENGADILAN AGAMA ATAMBUA
- Undang-Undang Dasar 1945 pasal 24
- Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman
- Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009 sebagaiman perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
- Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iah di luar Jawa dan Madura
- Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 95 Tahun 1982 Tentang pembentukan cabang Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah Propinsi serta Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah.
C. TUGAS POKOK DAN FUNGSI
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan dalam pasal 24 ayat (2) bahwa Peradilan Agama merupakan salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung bersama badan peradilan lainnya di lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer, merupakan salah satu badan peradilan pelaku kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan hukum dan keadilan bagi rakyat pencari keadilan perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam.
- Pengadilan Agama Atambua yang merupakan Pengadilan Tingkat Pertama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syariah sebagaimana diatur dalam pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
- Di samping tugas pokok dimaksud di atas, Pengadilan Agama Atambua mempunyai fungsi, antara lain sebagai berikut:
- Fungsi mengadili (judicial power), yakni menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara-perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam tingkat pertama (vide: Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006).
- Fungsi pembinaan, yakni memberikan pengarahan, bimbingan, dan petunjuk kepada pejabat struktural dan fungsional di bawah jajarannya, baik menyangkut teknis yudisial, administrasi peradilan, maupun administrasi umum/perlengkapan, keuangan, kepegawaian, dan pembangunan. (vide: Pasal 53 ayat (3) Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 jo. KMA Nomor KMA/080/VIII/2006).
- Fungsi pengawasan, yakni mengadakan pengawasan melekat atas pelaksanaan tugas dan tingkah laku Hakim, Panitera, Sekretaris, Panitera Pengganti, dan Jurusita/Jurusita Pengganti di bawah jajarannya agar peradilan diselenggarakan dengan seksama dan sewajarnya (vide: Pasal 53 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 3 Tahun 2006) dan terhadap pelaksanaan administrasi umum kesekretariatan serta pembangunan. (Vide: KMA Nomor KMA/080/VIII/2006).
- Fungsi nasehat, yakni memberikan pertimbangan dan nasehat tentang hukum Islam kepada instansi pemerintah di daerah hukumnya, apabila diminta. (Vide: Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang No. 3 Tahun 2006).
- Fungsi administratif, yakni menyelenggarakan administrasi peradilan (teknis dan persidangan), dan administrasi umum (kepegawaian, keuangan, dan umum/perlengkapan) (vide: KMA Nomor KMA/080/ VIII/2006).
- Melakukan koordinasi dalam pelaksanaan tugas hisab dan rukyat dengan instansi lain yang terkait, seperti DEPAG, MUI, Ormas Islam dan lain-lain (vide: Pasal 52 A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006).
- Pelayanan penyuluhan hukum, pelayanan riset/penelitian dan sebagainya serta memberi akses yang seluas-luasnya bagi masyarakat dalam era keterbukaan dan transparansi informasi peradilan, sepanjang diatur dalam Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor KMA/144/SK/VIII/2007 tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan.